SOEKARNO


Kendati banyak menuai protes atas film soekarno, saya malah cenderung berpandangan positif atas film tersebut. Penggambaran yang manusiawi, konfliknya dengan bu Inggit dan bagaimana sisi kekuatan perempuan seorang Inggit Garnasih adalah sisi yang saya sukai.

“Jika kau tidak mampu menjadi seperti tokoh ideal, maka sedikit turunkan standard keidealannya”. Tentu saja bukan prasangka itu yang saya mau ajukan. Tapi di sini kita bicara ke manusiawian seorang tokoh besar. Dari sisi manusiawinya soekarno, justru kita bisa melihat peran besar dari pendamping sang tokoh: Inggit Garnasih.

Anggaplah engkau para perempuan hidup di masa itu. Hal apa yang membuat seorang Inggit begitu berkorban besar buat soekarno; mahasiswa ingusan yang kerjanya teriak di podium dan menulis dengan nada protes di surat kabar bawah tanah.

Soekarno tidak mengikuti galur keumuman kaum elit terdidik. Menikmati fasilitas politik etis Belanda, menjadi ningrat dan ongkang-ongkang di bawah penderitaan rakyat terjajah. Dan Inggit berperan besar dalam mendukung visi besar Soekarno muda, dengan caranya sendiri. Dengan tangan halusnya, Inggit menjadi tumpuan Soekarno atas penghidupan keluarga. Dari hasil jahitan dan membuat obat dan bedak, keluarga ini bisa hidup.

Ada pepatah bagus : jika engkau mendidik seorang perempuan; maka engaku sejatinya mendidik satu generasi. Adalah ungkapan yang pas. Pendidikan yang paling baik seorang anak adalah memberikan teladan; bagaimana seorang ayah dan ibu mengorbankan waktu dan tenaganya untuk kemaslahatan orang banyak, untuk kebahagiaan orang lain. Pulasan wajah tulus rakyat yang bahagia dan sejahtera, bisa menjalani kehidupan secara hakiki dan bermartabat adalah ajaran dan tauladan yang dilihat Sukarno kecil dalam keseharian keluarga bapak angkatnya : HOS Cokroaminoto.

Inggit rela mengikuti Sukarno muda dari penjara ke penjara, dari pembuangan ke pembuangan. Ia hadir di sisi Sukarno dalam setiap masa sulit. Ia bertaruh nyawanya sendiri. Coba bayangkanlah engkau para perempuan: Apakah itu kehidupan yang diidamkan? Menjadi tumpuan keluarga, bertaruh nyawa demi perjuangan yang bisa jadi Ibu Inggit sendiri tidak mengerti betul apa yang Sukarno cita-citakan. Tanpa kehadiran seoarang istri seperti Inggit, mungkin saja jalan cerita akan bicara lain.

Dan hari ini. Berpegang teguh dengan idealisme adalah barang langka. Berjuang untuk orang lain adalah perkara mahal. Kecintaan akan negeri, visi tentang kondisi rakyat yang bermartabat, mandiri dan sejahtera adalah seperti jarum di tumpukan jerami. Kita semua berada dalam hiruk pikuk memenuhi kehidupan sendiri. Kita berupaya keras mengejar target standard hidup yang dijejali lewat imaji sinetron TV, imaji selebritis Hollywood, imaji keberhasilan sosok kapitalis.

Ah, engkau para ibu dan para suami: kehormatan untuk tetap berupaya teguh dalam jalan “perjuangan”: berkorban untuk orang lain adalah mutiara ajar bagi anak-anakmu kelak. Yang semoga dari keluarga-keluarga tersebut lahir Sukarno-sukarno Indonesia. Esa hilang, dua terbilang. Mati satu, tumbuh seribu. Tabik.

Leave a comment